Fatwa Politis MUI, Mengusik Harmoni

Nasional533 Dilihat

Penulis: Prof. Dr. H. Asa’ari, M.Ag.*

Narawarta.com – Mesti diakui bahwa fatwa salam lintas agama itu lebih bernuansa politis, alih-alih teologis. Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara mengejutkan mengorbit hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII pada 28-31 Mei 2023, yang sebetulnya tidak diperlukan dalam konteks sosial-kultural Indonesia hari ini. Sebuah fatwa yang tidak merefleksikan realitas kekinian dan kedisinian.

Lalu apa pentingnya fatwa itu digulirkan? Apakah benar fatwa itu dialamatkan untuk penyelamatan akidah dan ubudiah, seperti dicemaskan MUI, atau ini hanya reaksi atas gejala defisit otoritas di tubuh MUI?

Salam lintas agama ini bukan hal baru. Salam ini juga telah diteladankan oleh banyak Nabi. Rasulullah bahkan sangat mencintai insan yang menebar salam kebaikan, sebagaimana dalam sebuah qaul yang masyhur, afsy al-salam bainakum (lih. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad). Menebar salam ini mengandung esensi yang teramat penting untuk menumbuhkan rasa cinta di antara manusia. Suatu akhlak sosial yang patut dilestarikan terutama di tengah masyarakat yang beragam.

Nabi Muhammad, misalnya, pernah mengirimkan salam kepada orang-orang Yahudi dan para pemimpin mereka yang hidup berdampingan dengan umat Islam, dan tradisi ini diteruskan oleh para sahabat. Fakta historis ini membuktikan bahwa sejak era awal Islam akhlak sosial ini telah dilanggengkan, dan biasa saja. Lalu kenapa MUI masih saja tertarik mendiskusikan persoalan yang sebetulnya sudah usang, dan selesai. Agak naif memang, jika bukan ada kepentingan tertentu yang ingin digolkan.

Herannya, di tengah mental umat yang rapuh ada saja yang mendukung fatwa itu. Berkutat pada persoalan usang ini, yang tidak ada kontribusinya bagi kemajuan bangsa dan agama, menunjukkan taraf beragama kita masih rendah dan sangat prematur. Entah berapa banyak literatur, diskusi, dan fatwa yang telah membahas persoalan ini.

Walakin, entah kenapa MUI masih saja tertarik meributkan ini dengan argumentasi klise, “pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram”. Semudah itukah label haram diobral?

Jadi, apa pentingnya membahas salam lintas agama kalau bukan soal otoritas? Fatwa-fatwa semacam itu mengindikasikan konservatisme akut di tubuh MUI. Dengan dalil menjaga ubudiah dan akidah, MUI seolah hendak menciptakan citra heroik dalam persepsi publik. Karenanya, kehadiran fatwa itu dapat dipahami hanya untuk menarik simpati muslim awam yang cenderung populis dan gemar dengan isu-isu demikian.

Melemahnya otoritas mendesak MUI untuk mengembalikan peran sentral mereka sebagai pengawas moral. Upaya instan yang dapat dilakukan ialah mengatur lalu lintas moral di ruang publik atas nama akidah. Fatwa salam lintas agama, fatwa selamat hari raya, dan seterusnya dapat dipahami dalam konteks ini.

Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan klasik, kenapa fatwa-fatwa seperti itu selalu diproduksi secara musiman. Jawaban paling logis dan relevan ialah karena itu cara paling gampang untuk mendulang otoritas, kendatipun di sisi lain lebih menyiratkan kecemasan mayoritas.

Posisi MUI sebagai mitra pemerintah idealnya dapat memberikan justifikasi keagamaan terhadap program-program negara, bukan sebaliknya. Sebetulnya banyak sekali agenda negara yang memerlukan inisiatif MUI di dalamnya, terutama di bidang sains dan inovasi teknologi. Di saat negara optimis mengawal kerukunan umat beragama dan bertekad menjaga integrasi bangsa, MUI justru menunjukkan sikap berlawanan dengan mengorbitkan fatwa yang tendensius dan bernada eksklusif.

Walhasil, sikap MUI ini semakin menguatkan keraguan masyarakat terhadap posisi mereka sebagai barometer atau standar keagamaan publik yang sah dan kredibel. Bukan saja MUI tidak mewakili keberagaman umat Islam di Indonesia secara menyeluruh, tetapi tindakan dan pernyataan mereka justru sering kali memicu kegaduhan dan kontroversi di kalangan masyarakat.

Hal ini memperjelas bahwa MUI tidak memiliki otoritas resmi dari negara, sehingga fatwa-fatwa yang mereka keluarkan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan tidak dapat dijadikan dasar dalam implementasi hukum di Indonesia.

*) Penulis adalah Guru Besar Hukum Islam dan Rektor IAIN Kerinci