PEKANBARU, Narawarta.com — Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi kenyataan getir yang dihadapi banyak kelompok rentan di Indonesia, tak terkecuali di Riau. Berangkat dari keprihatinan itu, Institute for Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS) UIN Sultan Syarif Kasim Riau bekerja sama dengan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Cabang Riau menggelar Bincang Diskursus Keberagaman (BIDUK) ke-5 dengan tema “Perempuan, Kekerasan, dan Masa Depan Kesetaraan: Eksplorasi Pengalaman Riau.”
Diskusi yang berlangsung di Hotel Royal Asnof Pekanbaru tersebut menghadirkan Dr. Maria Ulfah Anshor, M.Si, Ketua Komnas Perempuan RI, sebagai narasumber utama. Kegiatan diikuti oleh 32 peserta dari berbagai lembaga—mulai dari UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), organisasi perempuan, aktivis lingkungan, komunitas penyandang disabilitas, mahasiswa, hingga perwakilan agama minoritas seperti Ahmadiyah dan Baha’i.
Dalam sambutannya, Dr. Bambang Hermanto, M.A., selaku Direktur ISAIS, menekankan pentingnya forum semacam ini sebagai wadah untuk membangun kesadaran bersama lintas kelompok.
“ISAIS ingin memastikan bahwa perguruan tinggi bukan hanya pusat ilmu pengetahuan, tetapi juga ruang moral untuk mendengarkan pengalaman dan penderitaan sosial yang kerap tak terdengar,” ujarnya.
Dalam paparan kuncinya, Maria Ulfah Anshor menyoroti bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang kini semakin kompleks. Selain kekerasan fisik dan seksual, banyak perempuan menghadapi kekerasan ekonomi, digital, dan struktural akibat kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada masyarakat kecil.
“Ketika proyek strategis nasional menggusur tanah adat dan meminggirkan perempuan dari sumber hidupnya, itu juga bentuk kekerasan. Negara harus hadir, tidak hanya menindak pelaku individu, tetapi juga membenahi sistem yang melahirkan ketidakadilan,” tegasnya.

Suara dari Riau: Luka dan Harapan
FGD kemudian bergulir menjadi ruang berbagi pengalaman. Dewi, dari UPT PPA Provinsi Riau, menceritakan bagaimana banyak korban kekerasan yang akhirnya mundur dari proses hukum karena tekanan sosial dan rasa takut. Sementara Fenty dari Yayasan Insan Nusantara mengingatkan bahwa perempuan penyandang disabilitas masih menghadapi diskriminasi berlapis—baik dalam hukum maupun layanan publik.
Isu lain turut mencuat: kekerasan berbasis gender online, pernikahan anak, ketidakadilan bagi buruh migran perempuan, dan rendahnya keterwakilan perempuan di ranah politik Riau yang hanya sekitar 9 dari 65 anggota DPRD.
“Perempuan kerap hanya dijadikan pelengkap administratif dalam partai politik. Padahal, keputusan yang menyangkut hidup perempuan sering diambil tanpa suara mereka,” ungkap Witra Yeni, perwakilan Perempuan Lembaga Adat Melayu Riau.
Menyulam Jejak Kolaborasi
Diskusi juga menyoroti pentingnya pendekatan lintas sektor. Perwakilan WALHI Riau, misalnya, menyoroti bagaimana krisis lingkungan dan konflik agraria berdampak langsung pada beban psikologis dan ekonomi perempuan. Para aktivis sepakat bahwa perjuangan kesetaraan tidak bisa dilepaskan dari perjuangan ekologis, keadilan sosial, dan kebijakan inklusif.
Moderator Moh. Ansor dari ISAIS menutup sesi dengan merangkum lima isu utama yang menjadi fokus tindak lanjut:
- Kekerasan Berbasis Gender dan Online (KBGO);
- Kekerasan Rumah Tangga dan Anak (KtPA);
- Lingkungan dan Proyek Strategis Nasional;
- Kesehatan Reproduksi dan Hak Dasar Perempuan;
- Politik, Anggaran, dan Disabilitas.

Menuju Riau yang Inklusif dan Berkeadilan
Dalam penutupannya, Dr. Bambang Hermanto menegaskan komitmen ISAIS untuk terus memperkuat jejaring advokasi berbasis riset.
“Kita perlu menulis ulang narasi tentang perempuan di Riau—bukan sebagai korban, tetapi sebagai penggerak perubahan. Inilah semangat BIDUK: mendayung bersama di tengah arus perbedaan untuk mencapai keadilan,” katanya.
Kegiatan ini menegaskan bahwa perjuangan kesetaraan gender bukan hanya isu perempuan, melainkan tanggung jawab kemanusiaan bersama. Dari ruang dialog kecil di Pekanbaru ini, diharapkan lahir langkah-langkah nyata menuju Riau yang lebih inklusif, berkeadilan, dan bebas dari kekerasan terhadap perempuan. ***





